Kamis, 30 Agustus 2012

BACK TO THE PAST [ Mira Fadilla ]

KINAN
“Kinannnnnnnnnnnnnnnnnn…………”
Kini aku merasa tubuhku dingin dan perlahan membeku.
●●●
“Ibu, Kinan belum juga bangun.”
“Sudah, biarkan adikmu tidur.”
Sayup-sayup tersengar suara menyebut namaku. Ibu. Aku yakin itu pasti suara ibu. Aku mengenalinya. Lalu siapa anak laki-laki yang berbincang dengan ibuku? Bukankah di rumah ini ibu hanya memiliki dua anak, aku dan kakakku, dan kami sudah dewasa. Siapa dia? Apa ada tamu datang? Ah, sudahlah.
Seorang membuka gorden kamar. Mataku yang masih memberontak sinar matahari yang mulai merambah kamar. Aku membalik tubuh, menghindari sinar yang benar-benar mulai menghujamku. Seseorang menutup kembali gorden itu. Sinar matahari yang tadi menyorotku kini sudah tertameng gerai-gerai gorden.
“Ibu, kakak itu tadi bergerak saat aku membuka gorden.”
Ah. Anak kecil itu benar-benar mengganggu tidur nyenyakku kali ini. Aku membuka mata. Aku melihat seisi kamarku. Masih sama. Namun di sudut kanan dekat pintu, aku melihat sorang anak kecil bersama ibu.
“Siapa dia, Bu?” Tanyaku pada ibu.
“Dia anak saya Kevin. Saudara ini siapa ya?” Ibu bertanya aku siapa? Ibu tidak mengenaliku?
“Aku Kinan, Bu, anakmu.”
“Kinan?” Anak kecil itu mengeluarkan suaranya dan ekspresi mukanya menunjukkan rasa tak percaya.
“Ya, aku Kinan.” Jawabku dengan lantang dan tegas.
“Anak saya Kinan hanya satu. Umurnya baru tiga tahun. Dia sedang tidur di kamarnya.” Ibu, apa yang terjadi sebenarnya.
Seorang anak perempuan kecil datang. “Dia Kinan, adikku.”
Kinan? Aku Kinan. Bukan dia. Ah, apa yang sebenarnya terjadi?
            Semua orang pergi dari hadapanku. Pintu kamar kembali tertutup. 
Ini rumahku. Ibu itu ibuku. Kinan, itu namaku, bukan nama gadis kecil itu. Kevin, dia kakakku, kakakku sudah besar tidak sekecil itu. Jika memang ini nyata, lalu aku sebenarnya siapa? Ah.
            Suara ketukkan pintu terdengar. Aku melihat ibu masuk dari balik pintu diiringi dua anak kecil itu. Mereka mendekat padaku. Secangkir teh ibu letakkan di meja samping tempat tidurku. Lalu dia tersenyum memandangku. Aku tersenyum memandangnya. Mungkin ibu sudah mengingatku kembali.
            “Minumlah, tenangkan dirimu.” Ibu beranjak dan mulai melangkahkan kakinya.
            “Nama kakak Kinan ya? Namaku juga Kinan, Kak. Ini kakakku, Kevin. Aku sangat menyayanginya. Dia yang selalu menjagaku.”
            Anak itu. Kinan. Dia bilang dia menyayangi Kevin? Ah, tidak mungkin. Aku Kinan. Aku sangat membenci kakakku, Kevin. Ya, meskipun itu baru kusadari saat aku beranjak remaja.
            Aku membenci Kevin. Dia yang merusak masa remajaku. Dia yang membuatku harus malu dan mendekam didalam rumah. Dia. Semua ini akibat perbuatannya dulu. Noda bakar di wajahku ini akibat perbuatannya. Dia yang salah.
            Aku menatap dua anak kecil ini penuh benci. Gelas yang berisi teh panas buatan ibu itu aku ambil. Entah karena emosiku atau benar-benar karena tidak sengaja, aku melempar gelas itu. Air panas yang ada di dalamnya seketika muncrat mengenai muka anak perempuan kecil yang menyebut dirinya Kinan itu. Sementara kakak laki-lakinya, Kevin, memeluk Kinan erat. Ibu datang, menatapku tajam.
            “Ini salahku, aku tidak bisa melindungimu, Kinan.” Kevin menangis menatap Kinan.
            Aku lihat wajah Kinan kecil yang memerah dan meninggalkan luka bakar. Aku melihat Kevin kecil menangis sesunggukan menatap wajah adiknya. Aku melihat luka bakar itu persis luka bakarku. Aku. Aku yang melakukannya sendiri. Ini salahku, Kevin tak pernah terlibat didalamnya.
●●●
            “Aku tidak bisa melindungimu lagi, Kinan. Maaf.” Sayup-sayup kudengar suara Kevin. “Maaf Kinan, kali ini air yang kembali membuatmu akan membenciku.”
            Bukan, Kak. Aku yang salah. Aku tersenggol badan seorang perempuan yang mengaku namanya Kinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar