KINAN
“Kinannnnnnnnnnnnnnnnnn…………”
Kini aku merasa tubuhku dingin dan
perlahan membeku.
●●●
“Ibu, Kinan belum juga bangun.”
“Sudah, biarkan adikmu tidur.”
Sayup-sayup tersengar suara menyebut
namaku. Ibu. Aku yakin itu pasti suara ibu. Aku mengenalinya. Lalu siapa anak
laki-laki yang berbincang dengan ibuku? Bukankah di rumah ini ibu hanya
memiliki dua anak, aku dan kakakku, dan kami sudah dewasa. Siapa dia? Apa ada
tamu datang? Ah, sudahlah.
Seorang membuka gorden kamar. Mataku
yang masih memberontak sinar matahari yang mulai merambah kamar. Aku membalik
tubuh, menghindari sinar yang benar-benar mulai menghujamku. Seseorang menutup
kembali gorden itu. Sinar matahari yang tadi menyorotku kini sudah tertameng
gerai-gerai gorden.
“Ibu, kakak itu tadi bergerak saat
aku membuka gorden.”
Ah. Anak kecil itu benar-benar
mengganggu tidur nyenyakku kali ini. Aku membuka mata. Aku melihat seisi
kamarku. Masih sama. Namun di sudut kanan dekat pintu, aku melihat sorang anak
kecil bersama ibu.
“Siapa dia, Bu?” Tanyaku pada ibu.
“Dia anak saya Kevin. Saudara ini
siapa ya?” Ibu bertanya aku siapa? Ibu tidak mengenaliku?
“Aku Kinan, Bu, anakmu.”
“Kinan?” Anak kecil itu mengeluarkan
suaranya dan ekspresi mukanya menunjukkan rasa tak percaya.
“Ya, aku Kinan.” Jawabku dengan
lantang dan tegas.
“Anak saya Kinan hanya satu. Umurnya
baru tiga tahun. Dia sedang tidur di kamarnya.” Ibu, apa yang terjadi
sebenarnya.
Seorang anak perempuan kecil datang.
“Dia Kinan, adikku.”
Kinan? Aku Kinan. Bukan dia. Ah, apa
yang sebenarnya terjadi?
Semua
orang pergi dari hadapanku. Pintu kamar kembali tertutup.
Ini rumahku. Ibu itu ibuku. Kinan,
itu namaku, bukan nama gadis kecil itu. Kevin, dia kakakku, kakakku sudah besar
tidak sekecil itu. Jika memang ini nyata, lalu aku sebenarnya siapa? Ah.
Suara
ketukkan pintu terdengar. Aku melihat ibu masuk dari balik pintu diiringi dua
anak kecil itu. Mereka mendekat padaku. Secangkir teh ibu letakkan di meja
samping tempat tidurku. Lalu dia tersenyum memandangku. Aku tersenyum
memandangnya. Mungkin ibu sudah mengingatku kembali.
“Minumlah,
tenangkan dirimu.” Ibu beranjak dan mulai melangkahkan kakinya.
“Nama
kakak Kinan ya? Namaku juga Kinan, Kak. Ini kakakku, Kevin. Aku sangat
menyayanginya. Dia yang selalu menjagaku.”
Anak
itu. Kinan. Dia bilang dia menyayangi Kevin? Ah, tidak mungkin. Aku Kinan. Aku
sangat membenci kakakku, Kevin. Ya, meskipun itu baru kusadari saat aku
beranjak remaja.
Aku
membenci Kevin. Dia yang merusak masa remajaku. Dia yang membuatku harus malu dan
mendekam didalam rumah. Dia. Semua ini akibat perbuatannya dulu. Noda bakar di
wajahku ini akibat perbuatannya. Dia yang salah.
Aku
menatap dua anak kecil ini penuh benci. Gelas yang berisi teh panas buatan ibu
itu aku ambil. Entah karena emosiku atau benar-benar karena tidak sengaja, aku
melempar gelas itu. Air panas yang ada di dalamnya seketika muncrat mengenai
muka anak perempuan kecil yang menyebut dirinya Kinan itu. Sementara kakak
laki-lakinya, Kevin, memeluk Kinan erat. Ibu datang, menatapku tajam.
“Ini
salahku, aku tidak bisa melindungimu, Kinan.” Kevin menangis menatap Kinan.
Aku
lihat wajah Kinan kecil yang memerah dan meninggalkan luka bakar. Aku melihat
Kevin kecil menangis sesunggukan menatap wajah adiknya. Aku melihat luka bakar
itu persis luka bakarku. Aku. Aku yang melakukannya sendiri. Ini salahku, Kevin
tak pernah terlibat didalamnya.
●●●
“Aku
tidak bisa melindungimu lagi, Kinan. Maaf.” Sayup-sayup kudengar suara Kevin.
“Maaf Kinan, kali ini air yang kembali membuatmu akan membenciku.”
Bukan,
Kak. Aku yang salah. Aku tersenggol badan seorang perempuan yang mengaku
namanya Kinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar