Semua orang sudah tertunduk lesu. Ayah menatapku lusuh. Kakak-kakakku menerawang jauh. Sementara aku hanya bisa menyandarkan tubuh dan memperhatikan sekelilingku.
"Hari ini kamu pulang jam berapa?" Tanya Bunda padaku.
"Tidak terlalu malam. Mungkin sesudah Isya." Jawabku. "Aku berangkat dulu, Bunda."
"Jangan pulang malam-malam."
Aku menatap wajah Bunda. Cantik. Kulitnya putih, halus, dan terawat. Wajahnya lembut. Sebelumnya aku tak pernah menyadari itu.
Bunda. Bunda selalu mengajariku tentang ketegaran. Bunda selalu menegakkan tubuhku ketika aku lunglai dan akan jatuh. Ya, hanya Bunda yang bisa melakukan itu untukku.
"Suatu hari nanti kamu pasti bisa tanpa Bunda."
"Aku tidak akan pernah bisa berdiri tegak tanpa topangan Bunda."
"Kamu bisa, sayang. Kamu jauh lebih kuat dibanding Bunda."
"Hanya Bunda yang bisa mengajakku berdiri ketika aku jatuh."
"Makanya mulai sekarang kamu harus belajar berdiri, berjalan, lalu berlari. Kamu pasti bisa."
"Semoga."
Aku masih ingat, Bunda. Aku berjanji aku akan berrdiri tegak ketika aku merasa lunglai. Aku pasti akan berdiri meski kau sudah tidak menopangku lagi.
Selamat jalan, Bunda.
Lihatlah, aku tegar akan kepergianmu. Ketahuilah aku yang akan menggantikanmu sebagai penopang keluarga ini. Aku yang akan membuat Ayah dan kakak-kakak menjadi tegar, seperti ketika kau membuat kami selalu berdiri tegak.
Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar